Kontrak Production Sharing ~ Golden contract
RSS

Kontrak Production Sharing

1.15.2008

Kontrak Production Sharing

Oleh RACHMAD BACAKORAN

Mencermati Kontrak Production Sharing Dengan meningkatnya harga minyak dunia yang sempat mendekati 100 dolar AS per barrel, pemerintah berencana mengalihkan sebagian penggunaan premium yang bersubsidi ke bensin yang beroktan tinggi (RON 90) dan Pertamax. Di jalan-jalan protokol kota besar nantinya tidak disediakan premium bagi mobil pribadi, sehingga mereka terpaksa harus membeli bensin dengan harga yang lebih mahal. Dengan demikian pemerintah berharap subsidi BBM bisa ditekan. Artinya, sebagian beban kenaikan harga minyak dunia dilimpahkan kepada masyarakat. Pemilik mobil pribadi harus rela merogoh kocek lebih dalam. Itulah inti burden sharing atau bagi-bagi beban. Bukankah itu berarti harga bensin dinaikan secara implisit? Pembagian beban, apakah secara eksplisit melalui kenaikan harga maupun secara implisit dengan mengurangi pasokan BBM bersubsidi bukanlah hal yang baru. Setiap kali posisi fiskal terancam oleh kenaikan harga minyak dunia, pemerintah selalu mengambil jalan pintas seperti ini. Ada pertanyaan yang selalu menggelitik setiap kali pemerintah melakukannya; adakah jalan lain? Ada, dan itu selalu gagal dilakukan. Jalan lain tersebut adalah peningkatan produksi minyak bumi dan penurunan ongkos produksi. Selama sembilan tahun terakhir, praktis produksi minyak bumi Indonesia terus-menerus mengalami penurunan dari 1,6 juta barel per hari menjadi hanya 910 ribu barel. Kalau saja produksi bisa digenjot lagi ke 1,2 juta barel niscaya kita tak perlu kerepotan menaikan harga. Dan itu sangat mungkin dilakukan dalam jangka dekat ini kalau sumur tua (brown field) diaktifkan kembali. Salah satu kegagalan terbesar pemerintah adalah pemanfaatan potensi brown field yang begitu saja ditelantarkan. Hal lain yang gagal dilakukan adalah menekan ongkos produksi. Melalui production sharing contract (KPS) seluruh biaya operasional dan investasi dibebankan kepada pemerintah dan disebut sebagai cost recovery. Anehnya, dari tahun ke tahun cost recovery selalu meningkat sementara jumlah yang diproduksi cenderung menurun. Suatu hal yang sama sekali tak masuk logika. Apa masalahnya? Temuan BPKP dan BPK menunjukkan negara dirugikan sebesar Rp 18,07 triliun rupiah akibat penggelembungan dalam cost recovery. Sebagian besar penggelembungan timbul karena lemahnya pengawasan yang mengakibatkan pengeluaran perusahaan di luar batas kewajaran. Teman saya di BP Migas malah berseloroh bahwa biaya orang kentut saja dimasukan kedalam komponen cost recovery. Production sharing contract (PSC/KPS) merupakan skema kontrak yang lazim dalam ekonomi syariah disebut sebagai mudharabah. Dalam kontrak ini, bagi hasil dilakukan setelah seluruh komponen biaya diperhitungkan. Masalah utama dalam kontrak seperti ini adalah dalam menentukan kewajaran biaya produksi. Mudharabah akan memenuhi prinsip keadilan apabila produksi dilakukan dengan metoda yang paling efisien dan dengan demikian biaya dapat ditekan sampai serendah mungkin. Setiap penggelembungan biaya di atas biaya yang paling efisien akan merugikan salah satu pihak dan merupakan suatu bentuk pencurian. Terdapat dua syarat utama untuk bisa tercapainya efisiensi dan tercegahnya penggelembungan. Pertama, pelaksana kontrak harus mengaplikasikan teknologi atau metoda produksi yang paling efisien. Penggunaan teknologi yang tidak efisien akan merugikan kedua belah pihak karena mengurangi potensi keuntungan yang dibagihasilkan. Selain itu, hal ini juga menimbulkan kesulitan dalam menentukan batas kewajaran pembebanan biaya. Biasanya, penghitungan kewajaran dilakukan dengan benchmarking terhadap perusahaan sejenis yang paling efisien. Benchmarking menjadi sulit manakala teknologi yang digunakan bukan yang paling efisien. Dalam situasi seperti ini, sangat sulit menentukan tingkat kewajaran biaya. Syarat kedua adalah keterbukaan dalam pencatatan keuangan sehingga pemberi kontrak dapat melakukan monitoring dan pengawasan terhadap pelaksana kontrak. Dalam setiap komponen pembiayaan harus ditentukan satuan biaya maksimal, standard harga dan standard pemakaian faktor produksi. Di luar itu, segala biaya yang timbul bukan merupakan komponen yang bisa dibebankan kepada kontrak. Dalam laporan BPK yang diungkapkan kepada publik sangat jelas bahwa kedua syarat ini tidak terpenuhi. Unit cost di masing-masing PSC bisa berbeda sampai 50 persen. Standard biaya juga belum ditentukan sehingga tampak pengenaan biaya yang sangat serampangan. Selain itu, sistem pelaporan keuangan juga sangat jauh di bawah standard sehingga sangat menyulitkan pelaksanaan audit. Intinya, dalam kontrak mudharabah masalah ketidaksempurnaan dalam informasi keuangan dan tata laksana produksi merupakan masalah klasik yang harus bisa dipecahkan untuk mencapai keadilan bagi hasil. Hal ini menjadi sangat sulit untuk dicapai manakala kontraktor dapat dengan leluasa membebankan biaya di luar batas kewajaran. Hal itu biasa terjadi dalam lingkungan yang korup dan penegakan hukum yang lemah. Amanah memang merupakan kata-kata yang sering ditebarkan oleh para pendakwah, tetapi juga merupakan hal yang sangat langka diterapkan di negeri ini. Dibutuhkan sebuah rezim yang bersih untuk melaksanakan kontrak bisnis yang sesuai dengan syariah.

sumber :

www.rachmadindependent.blogspot.com

atau http://rachmadindependent.blogspot.com