Basis “Pay or Play” Dalam Kontrak Entertainmen ~ Golden contract
RSS

Basis “Pay or Play” Dalam Kontrak Entertainmen

1.13.2008


Istilah “pay or play” sering dipergunakan dalam kontrak-kontrak entertainment di luar negeri. Para pelaku industri hiburan di Hollywood sudah ‘tst’ atau tahu sama tahu arti istilah tersebut pada waktu melakukan negosiasi dan deal dalam berbagai kontrak entertainment.

Di Hollywood, para pelaku transaksi bisnis hiburan pada umumnya telah memegang standar definisi “pay or play” sebagai kewajiban untuk membayar uang sekalipun tidak ada jasa yang digunakan.

Ada pula yang mengartikan komitmen “pay or play” pada umumnya mencakup sebuah janji untuk mengkompensasikan seseorang, apakah jasa seseorang tersebut digunakan atau tidak.

Penulis sendiri mendefinisikan basis “pay or play” sebagai dasar hak bagi suatu pihak yang telah diatur dan disepakati dalam perjanjian khususnya pada klausul kompensasi, untuk menuntut pembayaran atas prestasinya baik prestasi itu telah digunakan sebagian atau seluruhnya, ataupun belum/tidak digunakan oleh pihak lainnya dalam perjanjian tersebut.

Sebagai contohnya dapat kita lihat sebagai berikut :

Seorang aktor Hollywood di-offer oleh Studio agar ia membintangi sebuah film layar lebar yang akan diproduksi oleh Studio selama 5 bulan mendatang. Untuk itu, mereka selanjutnya menandantangani kontrak yang mana mencantumkan bahwa aktor tersebut di-hire dengan basis “pay or play” dan mendapat fee sebesar 10 juta dollar AS dari Studio. Konsekuensinya adalah, apabila pada waktu sebelum jadwal produksi film, Studio tidak jadi memproduksi film sehingga aktor tersebut tidak jadi bermain dalam film tersebut, maka aktor tersebut tetap berhak atas fee-nya sebesar 10 juta dollar AS tersebut. Sama halnya apabila pada waktu film tersebut sementara diproduksi, dan tiba-tiba Studio memutuskan untuk mengganti aktor tersebut, maka aktor tersebut tetap berhak atas fee-nya sebesar 10 juta dollar AS tersebut.

Basis “pay or play” ini dibentuk oleh para pelaku industri hiburan di luar negeri karena melihat proses produksi theater moving images (big screen) yang memerlukan waktu beberapa bulan dan umumnya bersamaan. Studio akhirnya harus meng-hire para actors, actress, writers, directors (baca talent) terlebih dahulu guna menjamin waktu talent tersebut tidak akan diberikan kepada Studio lain yang juga ingin meng-hire-nya. Dengan di kontrak-nya para talent sejak awal, maka studio ataupun film production company telah mendapatkan jaminan bahwa talent tersebut pasti akan bermain dalam filmnya yang baru akan diproduksi selama beberapa bulan kemudian. Di sisi talent pun, mereka tidak akan dirugikan karena selama jangka waktu produksi yang berbulan-bulan itu, mereka pasti akan mendapatkan bayaran walaupun film tersebut tidak jadi diproduksi sehingga ia tidak bermain dalam film tersebut.

Mengapa talent tersebut harus tetap dibayar oleh studio walaupun tidak jadi bermain ? Hal tersebut disebabkan oleh argumen hukum karena mereka telah menolak tawaran-tawaran bermain dalam film lainnya setelah dikontrak sehingga apabila ia diputus kontraknya, ia tidak akan bermain di film lain lagi sehingga tidak mendapatkan uang.

Disamping itu pula, dengan di hire-nya talent tersebut, maka studio akan mendapatkan keuntungan yang lebih yakni dapat menggunakan nama talent tersebut guna meningkatkan kredibilitas film yang akan diproduksinya dalam rangka finance dan pemasaran.

Sejak dahulu banyak kasus-kasus yang diajukan atas dasar basis “pay or play” ini, namun contoh-contoh kasus terakhir mengenai gugatan ini adalah sebagai berikut :

§ Sharon Stone melakukan gugatan hukum melawan 2 produser yang didasarkan pada sebuah pernyataan “pay or play” dalam perjanjian untuk membayarnya sebesar 14 juta dollar AS untuk membintangi sebuah sequel film “Basic Instinct”;

§ Sean Connery menggugat Mandalay Pictures dan Direkturnya yang dinyatakan menyalahi kontrak lisan atas komitmen “pay or play” atau “pay and play”, agar mereka membayar aktor tersebut lebih dari 17 juta dollar AS untuk membintangi dan memproduksi sebuah thriller berjudul “End Game”;

§ Kathy Bates menggugat produser dan perusahaan pembuatan filmnya atas pelangggaran jaminan “pay or play” untuk membayar aktris tersebut sebesar 1.25 juta dollar AS apakah menggunakan atau tidak jasanya dalam film “Carolina Torn Asunder”.

Di Indonesia, basis “pay or play” ini sudah cukup banyak diketahui oleh para pelaku industri hiburan dan penyiaran di Indonesia khususnya stasiun tv ataupun perusahaan pembuat film yang mengadaptasi format program tv dari luar negeri untuk produksi versi Indonesianya. Para film production company luar negeri selalu menghendaki basis “pay or play” ini dituangkan dalam kontrak produksi program tv-nya untuk versi Indonesia. Hal ini membuat pelaku industri hiburan dan penyiaran di Indonesia mau tidak mau harus mengerti dan mengikutinya.

Sesuai asas hukum kontrak yang diatur dalam hukum perdata Indonesia, salah satu syarat sahnya suatu perjanjian adalah adanya suatu sebab yang halal dimana syarat tersebut menentukan bahwa para pihak yang mengadakan perikatan bebas untuk menentukan kesepakatan yang dibuatnya sepanjang kesepakatan tersebut merupakan kesepakatan yang lahir dari sebab yang tidak bertentangan dengan uu, kesusilaan dan ketertiban umum. Bahwa dengan demikian, sesuai asas hukum kontrak tersebut dan dengan melihat argumen hukum yang mendasari agar talent tersebut harus tetap dibayar walaupun tidak jadi bermain (sebagaimana disebutkan diatas), maka menurut hemat penulis, adalah berdasarkan hukum, beralasan hukum dan patut untuk mengatakan bahwa kesepakatan basis “pay or play” ini juga dapat berlaku dan diterapkan oleh para pelaku industri hiburan dan penyiaran di Indonesia.

Penulis telah sering menjumpainya dalam kontrak lisensi produksi suatu program tv asing untuk produksi versi Indonesianya, dan secara tersirat, penulis selalu menyinggungnya dalam kontrak talent untuk produksi program tv.

Mengenai kasus di dunia hiburan Indonesia yang menyangkut basis “pay or play” ini, sejauh ini penulis belum menemukannya.

Berdasarkan pengamatan penulis, basis ini belum dapat diterima dan diterapkan sepenuhnya oleh pelaku industri hiburan dan penyiaran di Indonesia. Banyak hal yang membuatnya demikian antara lain bisnis hiburan dan penyiaran baru “berjalan” dan masih mempelajari transaksi-transaksi bisnisnya secara global dimana budaya hukum masyarakat Indonesia yang masih belum betul-betul menghargai kontrak. Selain itu, posisi dominan para pemodal terhadap penyedia jasa dapat mendikte kesepakatan-kesepakatan dalam kontrak yang ditandatangani.

Kesimpulannya, basis ini baru dapat digunakan setelah para pelaku industri hiburan dan penyiaran betul-betul telah menciptakan struktur bisnisnya dengan baik dan para pelakunya telah melakukan manajemen profesional dalam menjalankan usahanya masing-masing.

Sumber

http://mappajanci.blogster.com/mappajanci/blog_articles.rss