Kontrak baku
Kontrak baku artinya kontrak tertulis berupa formulir yang isi, bentuk, serta cara penutupannya telah distandarisasi atau dibakukan secara sepihak oleh pelaku usaha, serta bersifat massal tanpa mempertimbangkan perbedaan kondisi yang dimiliki konsumen (take-it or leave-it contract) yang isi atau ketentuan yang terdapat dalam kontrak baku disebut sebagai klausula baku.
· Perjanjian baku sepihak, adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat di sini adalah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi ekonomi kuat dibandingkan pihak debitur, kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif.
· Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah, ialah perjanjian baku yang isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian yang mempunyai objek hak atas tanah.
Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaries atau advokat. Adalah perjanjian yang konsepnya sejak semula disediakan. Untuk memenuhi permintaan anggota masyarakat yang meminta bantuan notaries atau advokat yang bersangkutan. Dalam perpustakaan Belanda jenis ini disebutkan contract model. Misalnya tiket busway, kereta api dan lain sebagainya
Klausula Baku
Menurut pasal 1 butir 10 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mendefinisikan klausula baku sebagai aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha atau penyalur produk yang dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Intinya, si produsen atau pemberi jasa telah menyiapkan perjanjian standar dengan ketentuan umum dan konsumen hanya memiliki dua pilihan, yaitu menyetujui atau menolaknya. Tetapi yang menjadi masalah adalah saat konsumen berada pada posisi terdesak dimana konsumen sangat membutuhkan barang atau jasa sehingga konsumen terpaksa menyanggupinya.
Klausula baku bersumber dari adanya kontrak baku atau perjanjian baku yaitu kontrak tertulis berupa formulir yang isi, bentuk, serta cara penutupannya telah distandarisasi atau dibakukan secara sepihak oleh pelaku usahaha, serta bersifat massal tampa mempertimbangkan perbedaan kondisi yang dimiliki konsumen (take-it or leave-it contract) yang isi atau ketentuan yang terdapat dalam kontrak baku disebut sebagai klausula baku.
Dalam sejarah lahirnya kontrak baku bersamaan dengan lahirnya konsep negara “walfare state”, dimana pada saat itu muncul paham ekonomi klasik yang dipelopori Adam Smith yang mengagungkan persaingan bebas. Antara paham ekonomi klasik dan persaingan bebas saling mendukung dan berakar pada paham hukum alam. Kedua paham tersebut melihat individu mengetahui kepentingan mereka yang paling baik dan cara mencapainya, disebabkan karena manusia sebagai individu mempergunakan akalnya. Menurut hukum alam individu-individu diberi kebebasan untuk menetapkan langkahnya, dengan sekuat akal dan tenaganya, untuk mencapai kesejahteraan maka masyarakat yang merupakan kumpulan individu-individu tersebut akan menjadi sejahtera pula. Oleh karena itu untuk mencapai kesejahteraannya individu harus mempunyai kebebasan bersaing dan negara tidak boleh ikut campur tangan. Seiring dengan persaingan bebas tersebut, kebebasan berkontrak merupakan pula prinsip umum dalam mendukung berlangsungnya persaingan bebas tersebut. Berkenaan dengan paham ekonomi tersebut, para pengusaha bebas mencantumkan berbagai klausula yang memperkecil resiko dan tenggungjawabnya dari segala kerugian/kerusakan yang mungkin ditimbulkannya, dan membebankannya pada pihak yang lebih lemah yaitu konsumen
Sekitar tahun 1930 asas kebebasan berkontrak menyeret masyarakat Eropa dan seluruh dunia ke dalam jurang penganguran dan kelaparan, menjadikan pemerintah prancis dan negara Eropa lainnya merasa perlu untuk ikut campur tangan dalam kegiatan kontrak yang dilakukan individu dalam masyarakat. Berdasarkan hal ini, pranata hukum kontrak yang sebelumnya dianggap pranata hukum perdata yang bersumber pada asas kebebasan para pihak, setelah Perang Dunia II dan terutama menjelang akhir abad ke-20 sudah banyak diubah oleh peraturan-peraturan Hukum administrasi Negara sehingga Hukum Kontrak dibidang bisnis kini tidak dapat dikatakan lagi sepenuhnya tunduk pada asas kebebasan berkontrak dalam Hukum Perdata, tetapi sudah banyak dimasuki dan diterobos oleh unsur-unsur kepentingan umum dan hukum Administrasi Negara. Indonesia sebagai bekas jajahan salah satu negara eropa tidak terlepas dari imbas paham-paham ekonomi yang mempengaruhi perkembangan hukum di dunia.
Sampai sekarang perjanjian baku secara teoritis masih mengundang perdebatan dalam kaitannya dengan asas kebebasan berkontrak dan syarat sahnya perjanjian. Hal ini mengakibatkan timbulnya pendapat-pendapat mengenai perjanjian baku diantaranya yaitu
Sluijter mengatakan bahwa perjanjian baku bukan merupakan perjanjian, sebab kedudukan pengusaha dalam perjanjian adalah sebagai pembentuk undang-undang swasta (Ilegio particuliere wetgever). Syarat-syarat yang ditentukan dalam perjanjian itu adalah undang-undang, bukan perjanjian.
Pitlo mengolongkan perjanjian baku sebagai perjanjian paksa (dwang contract), yang walaupun secara teoritis yuridis, perjanjian baku ini tidak memenuhi ketentuan undang-undang dan oleh beberapa ahli hukum ditolak, namun kenyataanya kebutuhan masyarakat berjalan kearah yang berlawanan dengan keinginan hukum.
Berdasarkan pendapat diatas Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo berpendapat bahwa perjanjian baku tetap merupakan suatu perjanjian para pihak yang menandatanganinya, walaupun harus diakui bahwa klausula yang terdapat di dalam perjanjuan baku banyak mengalihkan beban tanggung gugat dari pihak pihak perancang perjanjian baku kepada pihak lawannya, namun setiap kerugian yang muncul di kemudian hari akan tetap ditanggung oleh para pihak yang harus bertanggung gugat berdasarkan klausula perjanjian tersebut, kecuai kalusula tersebut merupakan klausula yang dilarang.
Pengertian kebebasan berkontrak dalam penjabaran tersebut diatas bukan berarti sebebas-bebasnya. Dalam hukum Indonesia kebebasan berkontrak dijabarkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPer yaitu :
1. orang bebas memilih dengan siapa melakukan perjanjian;
2. bebas mengatur bentuknya;
3. bebas mengatur klausula atau isinya;
4. bebas melakukan pilihan hukumnya;
5. bebas memilih cara penyelesaiannya.
Dari Pasal 18 Undang-undang No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen dapat diketahui terdapat batasan-batasan dari pencantuman klausula baku dalam kontrak baku yaitu mengenai :
· Isi Klausula Baku
Menurut Pasal 18 Ayat (1) menyebutkan mengenai klausula-klausula yang dilarang dicantumkan dalam suatu perjanjian baku yaitu:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Dalam penjelasan pasal 18 ayat (1) undang-undang Perlindungan konsumen menyebutkan tujuan dari larangan pencantuman klausula baku yaitu :
“Larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.”
Diharapkan dengan adanya pasal 18 ayat (1) undang-undang Perlindungan Konsumen akan memberdayakan konsumen dari kedudukan sebagai pihak yang lemah di dalam di dalam kontrak dengan pelaku usaha sehingga menyetarakan kedudukan pelaku usaha dengan konsumen.
· Letak, Bentuk dan Pengungkapan Klausula Baku
Sesuai dengan pasal 18 ayat (2) disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Pencantuman klausula baku tersebut dapat berupa tulisan kecil-kecil yang diletakkan secara samar atau letaknya ditempat yang telah diperkirakan akan terlewatkan oleh pembaca dokumen perjanjian tersebut, sehingga saat kesepakatan tersebut terjadi konsumen hanya memahami sebagian kecil dari perjanjian tersebut. Artinya perjanjian tersebut hanya dibaca sekilas, tanpa dipahami secara mendalam konsekuensi yuridisnya, yang membuat konsumen sering tidak tahu apa yang menjadi haknya.
Mengenai letak, bentuk dan pengungkapan klausula baku dapat juga dilihat dari itikad pelaku usaha sesuai Pasal 7 Undang-undang No 8 tahun 1999 tentang Undang-undang Perlindungan Konsumen bahwa kewajiban pelaku usaha adalah beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan perbaikan dan pemeliharaan.
kontrak baku
11.22.2007
Kontrak jenis kontrak
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tutorial komen in English dan Tutorial komen in Indonesia